BEBASKAN PENDIDIKAN DARI CENGKERAMAN PRAGMATISME

Pada moment Hari Pendidikan Nasional kali ini, perlu dibicarakan lagi mengenai bagaimana potret pendidikan kita saat ini.

            Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Dalam konteks persekolahan, pendidikan memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk karakter dan nilai-nilai positif pada generasi muda. Namun, dalam realitasnya, pendidikan seringkali terjebak dalam cengkeraman pragmatisme yang membuat nilai-nilai idealisme terabaikan.

            Pragmatisme dalam pendidikan seringkali termanifestasikan dalam bentuk cassing tampilan yang sengaja dibuat semenarik mungkin agar orang mudah terpukau. Pragfmatisme pendidikan juga lebih mengedepankan nilai rapot daripada nilai karakter, menggelar berbagai upacara sosial dengan barisan yang harus sangat perfect, sebaliknya shaf dalam upacara spiritual cenderung dibiarkan berjajar ala kadarnya. Banyak sekolah yang lebih fokus pada prestasi akademik daripada prestasi non akademik. Prestasi akademik dianggap jauh lebih penting karena membutuhkan pemikiran yang serius. Sedangkan prestasi non akademik dianggap bukan hal istimewa karena banyak yang mampu melakukannya. Padahal, prestasi non akademik seperti kejujuran, integritas, dan nilai sikap dan perilaku yang baik juga sangat penting untuk dikembangkan pada setiap individu.

            Formalitas juga menjadi salah satu hal yang seringkali diutamakan dalam pendidikan. Ijasah menjadi tolak ukur utama dalam menilai kesuksesan seseorang, skor prestasi dibuat setinggi-tingginya untuk menciptakan kesan unggul yang kemudian dipamerkan dan dibangga-banggakan di mana-mana. Tidak jarang kebanggaan semu ini disyukuri dengan berkata, “Alhamdulillah. Berkat ridha Tuhan semua ini bisa diraih”. Berbagai kepalsuan diagungkan dan dirayakan dengan gegap gempita  tanpa memperhatikan nilai-nilai substansi yang sebenarnya lebih penting. Sikap eufemistik yang sering digunakan untuk menyembunyikan kekurangan juga menjadi hal yang merugikan dalam proses pendidikan. Sangat disayangkan apabila sekarang, di tengah-tengah era yang ditengarai sebagai era digital oleh banyak orang, ternyata masih ada juga yang suka memupuk kebanggaan semu. Orang bisa bangga luar biasa karena bisa menjadi juara lomba meskipun untuk itu harus mengeluarkan banyak uang.

            Kurikulum yang hanya berfokus pada kecerdasan otak dibanding kejerdasan majmuk dan tanpa memberikan ruang bagi pengembangan keterampilan atau kecakapan hidup (life skill) juga menjadi distorsi dalam dunia pendidikan. Pengalaman belajar yang seharusnya menjadi bagian penting dalam proses pendidikan seringkali diabaikan, padahal membaca dan menulis merupakan kunci utama dalam peningkatan kualitas pendidikan.

            Ki Hajar Dewantoro, pendiri pendidikan Indonesia, pernah mengungkapkan konsep “Taman Siswa” yang menekankan pentingnya pendidikan yang berbasis pada kejujuran, integritas, dan nilai-nilai luhur. Namun, dalam era kurikulum yang bahkan telah disematkan kata “merdeka” di belakangnya, nilai-nilai tersebut seringkali terabaikan demi mencapai prestasi yang hanya bersifat formalitas belaka. Setidaknya hingga detik ini praktik pendidikan yang memerdekan belum benar-benar mampu mewujudkan spirit Merdeka Mengajar dan Merdeka Belajar meskipun kurikulumnya bernama Kurikulum Merdeka. Tampaknya cengkeraman formalisme benar-benar telah mengakar kuat hingga ke kedalaman ruang bawah sadar insan pendidikan. Mereka akan segera puas dan merayakan “kesuksesan” setiap kali selesai menggelar aneka rupa acara seremonial, “Alhamdulillah, selamat ya acaranya bisa berjalan lancar”.

            Penting bagi kita untuk kembali memperhatikan substansi pendidikan yang tidak terbatas pada formalitas, pendidikan bukan sekedar mengejar ijasah dan prestasi akademik semata. Kita perlu mengembangkan karakter dan nilai-nilai positif pada setiap individu, serta memberikan ruang bagi pengembangan keterampilan dan pengalaman belajar yang berharga. Prestasi akademik berupa peningkatan pengetahuan sebetulnya sudah cukup baik desainnya karena telah dilengkapi dengan nilai ujian praktek. Tapi ujian praktik tetap bukan praktik yang sebenarnya karena ia merupakan bagian dari desain evaluasi pembelajaran. Adapun praktik yang sesungguhnya (real practice) adalah meliputi seluruh aktifitas kehidupan yang dilkakukan sehari-hari setiap individu. Real practice di sekolah dapat dilihat dari apa yang dilakukan para siswa dan guru saat jam istirahat, saat melaksanakan ibadah (shalat berjamaah dan hal-hal lain yang terkait), dan lain sebagainya. Real praktice inilah yang sering lepas dari perhatian. Padahal semestinya ini harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah sebagai sebuah sistem.

            Sebagai sebuah sistem, tujuan pendidikan nasional kita sebetulnya telah dirumuskan secara komprehensif : Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan memiliki budi pekerti yang luhur.  

            Tujuan pendidikan nasional tersebut tak boleh dikerdilkan hanya sebatas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan inipun masih diminimalisir menjadi sebatas cerdas otak (IQ) dan melupakan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Potensi manusia terlalu sederhana bila hanya diukur dari IQ nya. Bahkan orang seperti Albert Einstain yang terkenal  jenius (IQ 160-190) ternyata baru menggunakan potensi IQ sebesar 20% saja.

            Howared Gardner juga menjelaskan tentang  potensi kecerdasan manusia yang tidak tunggal. Pada awalnya ia menulis 7 macam kecerdasan dalam bukunya “Frame of Mind” (1983), kemudian berkembang menjadi 8 bahkan 9 macam kecerdasan yang meliputi  Kecerdasan Linguistik, Kecerdasan Visual Spasial, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Naturalis, Kecerdasan Logis-Matematis, dan Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan Spiritual).

            Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa potensi manusia tidaklah sederhana. Mestinya pendidikan menjadi lahan subur untuk menumbuhkan potensi-potensi itu. Akan tetapi realitasnya justru terbalik, pendidikan atau lebih tepatnya persekolahan justru menjadi lahan tandus bagi tumbuhnya ragam potensi manusia, bahkan sebatas pertumbuhan pengetahuan yang berebasis kecerdasan otakpun tidak banyak yang terlihat subur.

            Proses pertumbuhan pengetahuan yang ditandai dengan adanya budaya baca-tulis, tradisi halaqah atau kajian bersama, diskusi, bertanya-jawab, bahkan debat sangat jarang terlihat di sekolah-sekolah. Bahkan ada pula pandangan bahwa debat, diskusi, halaqah hanya sia-sia saja, dianggap sebagai pemicu keributan dan hanya sebatas mengumbar kata atau teori. Padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah terjadi pada era permulaan Islam, beberapa puluh tahun lalu (30 – 50) juga masih bisa disaksikan tumbuh subur di berbagai kampus, madrasah/sekolah, dan pesantren. Secara lebih lengkap, sejarah aktifisme kaum muda yang progresif dan revolusioner dan berhasil melanjutkan langkah para kaum tua yang sudah mulai kelelahan dapat dilacak pada angkatan para kaum muda Indonesia pada tahun  1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998. Selanjutnya pragmatisme menjadi lebih fenomenal. Bahkan banyak sekali kaum muda yang kehilangan arah sehingga sudah menjadi mahasiswapun masih suka tawuran, suatu fenomena yang sebelumnya hanya ada di kalangan remaja yang masuh duduk di bangku SMP.

            Jadi, mari bersama-sama membebaskan pendidikan dari cengkeraman pragmatisme yang membatasi potensi anak-anak Indonesia. Mari kita kembali pada nilai-nilai idealisme dalam pendidikan, demi menciptakan generasi yang memiliki integritas tinggi, kecerdasan majmuk, dan keterampilan yang berkualitas.

Cipinang, 1 Mei 2024