MENGHADAPI ANAK ANAK LEMAH BACA QUR’AN

Oleh : Asifudin Hasani (Kepala MTsN 24 Jakarta Timur)

Madrasah adalah lembaga pendidikan yang berciri khas agama Islam. Kata Islam ini menempel dan menjadi stempel yang melekat pada seluruh unsur yang ada di dalam madrasah. Menempel pada guru, karyawan, lingkungan maupun para siswanya. Seluruhnya dilabeli Islam. Seluruh unsur madrasah dituntut memiliki pengetahuan keislaman, karakter Islami dan perilaku Islami.

Siswa dalam hal ini merupakan satu unsur yang dilabeli Islam. Maka siswa madrasah dalam pandanngan masyarakat adalah pelajar yang memiliki pengetahuan agama Islam lebih dari siswa lain, memiliki karakter dan prilaku lebih islami dibanding dengan siswa sekolah pada umumnya. Termasauk dalam hal kemampuan membaca Al Qur’an.

Dalam hal ini masyarakat menganggap dan meyakini siswa madrasah lebih mampu membaca dan memahami Al Qur’an dibanding dengan siswa sekolah pada umumnya. Masyarakat tidak melihat itu siswa baru maupun siswa lama. Mereka tahunya anak madrasah lancar membaca Al Quran. Maka apabila ditemukan oleh masyarakat ada anak madrasah tidak lancar membaca Al Quran dianggap sebuah keadaan yang aneh.

Sehingga tidak jarang ada ungkapan dari guru MTs/SMP, “masa… alumni dari madrasah ibtidaiyah tidak lancar membaca Al Qur’an”. Di tingkat atasnya, guru MA/SMA pun berceloteh, “masa… lulusan madrasah tsanawiyah tidak lancar membaca Al Qur’an”. 

Ungkapan tersebut muncul, karena ada kondisi yang demikian di lapangan. Ada yang beda antara anggapan dan kenyataan. Hal ini menunjukan bahwa pandangan dan harapan masyarakat terhadap anak madrasah, begitu tinggi untuk memiliki keilmuan Islam yang memadai, minimal dalam hal membaca Al Qur’an.

Faktanya tidak semua siswa madrasah lancar membaca Al Qur’an. Sebagai praktisi, yang sudah puluhan tahun menangani siswa madrasah kita mendapatkan suplai siswa baru yang lemah baca Qur’an, minimal 25 % -55 % siswa yang baru masuk,  katagori lemah baca Qur’an.

Apakah indikator siswa lancar dalam membaca Quran ini? Berdasarkan pengalaman di lapangan, ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menilai, apakah seorang siswa –tingkat tsanawiyah lancar membaca Al Quran, antara lain :

  1. Mampu membaca ayat Qur’an sesuai tuntunan ilmu tajwid sederhana. Benar dalam melafalkan makharijul khuruf, mad, qalqalah, waqaf dan lain lain.
  2. Memiliki kecepatan membaca satu halaman rata rata 3,5 – 4  menit.

Apabila seorang siswa memiliki kriteria tersebut, bisa dikatakan lancar. Namun sebaliknya, bila seorang siswa dalam membaca Al Qur’an waqaf sembarangan, dua atau tiga kalimat berhenti, panjang pendeknya salah dan tidak konsisten, sehingga satu halaman bisa memakan waktu lebih dari 4 menit, menunjukan siswa tersebut lemah dalam kemampuan membaca Al Qur’an.

Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi?

Pertama, kondisi yang terjadi di madrasah ibtidaiyah. Guru guru di madrasah ibtidaiyah terutama di kelas kelas akhir (5-6), bisa jadi merasakan dan mengeluhkan kondisi siswanya yang tidak lancar membaca Al Qur’an. Hal ini biasanya terjadi karena orang tua sepenuhnya mempercayakan sepenuhnya pada madrasah. Bahwa madrasahlah yang akan mengajari baca Al Qur’an. Di rumah tidak diajari sendiri, tidak juga privat atau memanggil guru ngaji, tidak dimasukan ke TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), atau guru ngaji di mushala/masjid dekat dengan rumahnya. Sementara di level ibtidaiyah tidak ada kurikulum yang mengajarkan kemampuan membaca Al Qur’an secara khusus. Kalaulah ada, hal itu merupakan rekayasa yang dibuat oleh madrasah.

Kedua, kondisi yang terjadi di madrasah tsanawiyah. Di madrasah tsanawiyah sebagaimana di sebutkan di atas, tiap tahun ditemukan murid baru yang lemah dalam membaca Al Qur’an kurang lebih 25 – 55 %. Hal ini terjadi karena kurang selektif dalam penerimaan siswa baru, bahkan tidak melakukan penyaringan dalam kemampuan baca Al Quran. Siswa baru tsanawiyah berasal dari MI, SDIT, SD Negeri ataupun SD Swasta. Siswa yang berasal dari MI rata rata lancar membaca Al Qur’an, tapi siswa dari MI juga tidak dijamin lancar membaca Al Qur’an.  Siswa yang berasal dari SDIT rata rata lancar membaca Al Qur’an, hafal juz 30, tapi siswa dari SDIT juga tidak dijamin lancar membaca Al Qur’an. Demikian pula siswa berlatar belakang SD Negeri ataupun SD Swasta Umum, jika orang tuanya peduli umumnya lancar baca Qur’an, tapi kalau orang tuanya tidak peduli maka bisa jadi tidak lancar bahkan tidak atau belum kenal huruf Al Qur’an.

Ketiga, kondisi yang terjadi di madrasah aliyah. Fenomena yang terjadi di madradrasah aliyah dan sebab musababnya, hampir sama persis dengan yang terjadi di madrasah tsanawiyah.  Siswa baru aliyah berasal dari MTs Negeri, MTs Swasta, SMPIT, SMP Negeri ataupun SMP Swasta. Siswa yang berasal dari MTs rata rata lancar membaca Al Qur’an, tapi siswa dari MTs juga tidak dijamin lancar membaca Al Qur’an.  Siswa yang berasal dari SMPIT rata rata lancar membaca Al Qur’an, hafal beberapa juz dalam Al Qur’an. Demikian pula siswa berlatar belakang SMP Negeri ataupun SMP Swasta Umum, jika orang tuanya peduli umumnya lancar baca Qur’an, tapi kalau orang tuanya tidak peduli, bisa jadi tidak lancar bahkan tidak atau belum kenal huruf Al Qur’an.

Fakta di masyarakat, banyak orang tua kurang mementingkan anak anaknya ngaji atau belajar Al Qur’an. Ketika anak usia TK, SD kls 1 – 4 masih banyak orang tua yang mendorong putra putri belajar di TPA. Tetapi ketika kelas 5- 6, anak di sekolah banyak PR, banyak tugas, ikut les dan lain lain orang tua sudah memaklumi putra putrinya tidak ke TPA dengan alasan capai, banyak tugas sekolah. Apalagi usia sekolah MTs/SMP orang tua sangat permisif dan memaklumi sekali putra putrinya tidak belajar ngaji. Alasannya klasik, capai banyak tuga dari sekolah.

Lalu bagaimana madrasah menyikapi persoalan ini? Ada madrasah yang menyikapi persoalan ini dengan serius, ada pula madrasah setengah setengah, ada pula madrasah yang bersikap masa bodoh. Madrasah yang yang menyikapi dengan serius, akan menangkap persoalan ini dan segera mencari solusi. Madrasah yang tidak serius dan masa bodoh, akan membiarkan siswanya terus menderita lemah kemampuan baca Al Qura’an, yang berdampak pada penderitaan guru dan madrasah bahkan ummat. Kenapa guru dan madrasah menderita? Karena guru, madrasah menyapaikan materi pendidikan agama Islam dan bahasa Arab, tetapi tidak dapat dipahami dengan baik oleh siswanya, sehingga hasil belajar tidak maksimal. Jika kondisi ini terus terjadi, maka ummat juga yang menderita lemah pemahaman agamanya.

Firman Allah dalam QS. An Nisa : 9 yang artinya :

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An Nisa : 9)

Rasulullah bersabda, “yang terbaik diantara kalian, adalah yang belajar dan mengajarkan Al Qur’an”. Dalam konsep kelembagaan, maka madrasah yang terbaik, adalah madrasah yang menangkap siswanya lemah baca Qur’an sebagai peluang dakwah, yakni dengan mengajari Al Qur’an, khususnya kemampuan membaca pada siswanya, sebagai  generasi muslim yang akan datang.

Tentu hal tersebut tidaklah mudah, membutuhkan kesadaran semua unsur madrasah, terutama guru guru madrasah. Bahwa guru guru madrasah merupakan harapan terakhir, di tengah sepinya TPA, sepinya masjid mushala dari anak anak ngaji.  Maka langkah yang bisa ditempuh madrasah adalah :

Pertama, lakukan pemetaan kemampuan baca Al Quran terutama kelas awal. Dengan demikian akan terketahui berapa siswa berkemampuan apa. Berdasarkan pengalaman ada siswa yang belum mampu membedakan huruf. Ada siswa yang hanya mampu membaca “kata”. Ketika dihadapkan dua tiga kata, sudah tidak mampu dan lain lain.

Kedua, panggil orang tua dan sampaikan informasi tingkat kemampuan baca Al Qur’an putra putrinya. Bahwa sesungguhnya kemampuan baca Al Qur’an putra putri mereka adalah tugas mereka untuk mengajari sendiri di rumah, atau melalui privat, ngaji di TPA, masjid atau mushala. Karena tidak ada satupun kurikulum yang dibuat oleh kementerian yang mengalokasikan waktu untuk belajar membaca Al Qur’an di madrasah. Maka kelemahan baca anak, merupakan kelemahan dan kelalaian orang tua.

Ketiga, tawarkan ke orang tua akan mengajari sendiri putra putrinya, atau menyerahkan ke guru untuk diajari di luar tugas jam mengajarnya. Apabila diserahkan kepada madrasah atau guru, tentu ada konsekwensi yang harus ditanggung oleh orang tua, yakni mengeluarkan transport guru pengajar sesuai kesepakatan.

Keempat, susun program dan target pembinaan. Misalnya 4 bulan tuntas.

Kelima, lakukan pembinaan baca Al Qur’an dengan metode yang “kekinian” seperti Iqra, Qira’ati dan lain lain. Tentu tidak dengan seutuhnya, tetapi perlu ringkasan atau intinya saja, karena ini adalah program penuntasan.

Keenam, lakukan evaluasi tiap tahapan kemampuan dan laporkan hasilnya kepada orang tua.

Dengan enam langkah tersebut, insyaallah kelemahan baca Al Quran dapat diatasi. Kelemahan bukan menjadi masalah, tetapi menjadi peluang buat madrasah itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab.